Menemukan Cermin Diri Pada Ajaran Para Wali

Mengenai langkah yang harus dijalani, janganlah kamu berlebihan, hiduplah dengan bersahaja, jangan sombong dalam berbicara, dan jangan berlebihan terhadap sesama manusia. Itulah langkah sempurna yang sejati. Bertapa di gunung atau di gua itu akan menjadikanmu takabur,lakukanlah tapa di tengah ramainya manusia. Milikilah sikap luhur dan maafkanlah orang yang salah. Hanya itulah langkah yang sejati

(Sajarah Wali, Syekh Syarif hidayatullah Sunan Gunang jati, Naskah Mertasinga, Wahjoe: Pustaka, 2005)

Paragraph diatas saya kutipkan dari sebuah naskah kuno Mertasinga yang merupakan pesan yang disampaikan oleh Syekh Ataullah salah satu guru dari Sunan Gunung Jati. Naskah ini diterjemahkan oleh Amman N Wahjoe yang memiliki dokumen ini secara turun menurun dalam keluarganya. Wahjoe membuat babad yang berbahasa jawa-sundan ini dalam bahasa Indonesia dan menjadi satu bacaan berbahasa Indonesia yang banyak menyingkap sejarah tentang para wali di pulau jawa.

Sebenarnya ajaran-ajaran macam ini bertebaran di Indonesia. Bentuknya dapat berupa babad, kawuh, kinanti dan sebagainya. Satu bentuk dokumen yang biasanya hanya dipunyai oleh keturunan yang sifatnya ekslusif dan tidak terdokumentasi dengan baik.

Banyak keluarga di Indonesia ini menyimpan catatan-catatan ataupun tinggalan dari kakek, nenek atau buyutnya. Namun karena ketidakmengertian catatan ini diperlakukan sebagai jimat yang dikeramatkan tanpa dikuak isinya.

Bagi saya pribadi amat menarik untuk mengetahui secara mendalam ajaran-ajaran para wali di pulau jawa ini. Sejak dulu informasi yang saya terima tentang para wali, hanyalah hal-hal yang berisifat sinkretik yang penuh dengan cerita-cerita kegaiban.

Namun semakin saya mencari, yang saya temukan adalah kesederhanaan ajaran mereka yang cukup menyentuh sisi keberagamaan saya. Kalau ditilik dari ajaran-ajarannya para sunan ini tidak hanya sekedar pendakwah, namun mereka mempunyai khazanah sufistik yang cukup mendalam.

Salah satu tanda dari khazanah sufistik yang dimiliki para wali tersebut adalah wisdom (kebijaksanaan). Salah satu contohnya dapat kita rasakan pada ajaran sunan kudus yang sampai saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat di kota itu, yaitu tidak menyembelih sapi. Saat itu sunan kudus memerintahkan penghormatan terhadap sapi untuk mentoleransi kepercayaan masyarakat Hindu yang hidup di kota itu.

Menurut kisah yang tersebar dalam masyarakat, Sunan ini memulai dakwahnya dengan cara yang sangat unik untuk memancing masyarakat pergi ke masjid mendengarkan dakwahnya. Ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, tumbuh simpatinya. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina".

Selain itu kita dapat juga mempelajari ajaran dari Sunan Bonang yang gemar mecipatakan lagu-lagu rakyat sebagai lahan dakwahnya. Salah satu tembangnya yang cukup populer sampai saat ini, terutama saat dinyantikan kembali oleh Opick “tombo ati” merupakan hasil karyanya. Boleh saya kutipkan disini terjemahan dari syair berbahasa Jawa tersebut : Obat hati ada lima perkara/ yang pertamabaca qur'an dan maknanya/ yang kedua shalat malam dirikanlah/yang ketiga berkumpulah dengan orang saleh/yang keempat perbanyaklah berpuasa/yang kelima dzikir malam perpanjanglah/siapa yang bisa melakukan salah satunya /semoga Tuhan memberikan penyembuhnya

Salah satu sunan yang cukup unik pendekatannya dan cukup akrab dengan budaya lokal adalah Sunan kalijaga. Wali yang satu ini menggunakan pendekatan budaya untuk mendekati masyarakat Hindu Budha pada jamannya. Salah satu peninggalan beliau yang cukup dikenal oleh masyarakat Jawa adalah kisah pewayangan Dewa ruci.

Kisah tentang Bima yang bertemu dngan dewa ruci yang berwujud sama dengan dirinya menyimbolkan pertemuan manusia dengan jiwanya sendiri. Kisah Dewa Ruci merupakan satu simbol khazanah kesufian yang melihat bahwa tiap-tiap manusia harus bertemu dengan jiwanya sendiri untuk mengetahui laku sejati dalam hidupnya. Sayangnya saat ini banyak orang Jawa menggunakan pementasan wayang Dewa Ruci ini untuk ritual “ruwatan” tanpa mengetahui pesan sesungguhnya dari kisah tersebut.

Yang cukup ajaib buat saya juga adalah fakta sejarah bahwa para wali itu sebagian besar adalah orang-orang asing. Menurut buku yang ditulis oleh Sudirman Tebba, “Mengenal Wajah Islam yang ramah” (Pustaka Irvan, 2007) dan juga Sajarah Wali dalam Naskah Mertasinga, para wali kebanyakan berasal dari tanah arab dan Campa.

Syekh Syarif Hidayatullah sendiri serta Sunan Kudus mempunyai berdarah arab . Wali-wali yang lain seperti Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Bonang yang mempunyai hubungan kekeluargaan satu sama lain, merupakan keturunan dari Campa, perdebatan sering merujuk Campa sebagai salah satu daerah di Kamboja.

Kenyataan bahwa orang-orang asing khusus datang dan berkumpul ke pulau Jawa untuk menyebarkan dakwah Islam, adalah hal yang cukup menarik untuk diselami. Mengapa mereka datang ke pulau jawa? Dan lebih hebatnya lagi mengapa mereka yang berdarah asing itu dapat membumikan nilai-nilai Islam sesuai dengan nilai lokal atau lebih tepatnya “berdakwah dengan “bahasa” kaumnya?

Ini adalah misteri yang membutuhkan studi yang panjang, namun dengan khazanah sufistiknya yang unik para wali mengajarkan nenek moyang saya untuk menyembah Tuhan dengan keberserahdirian yang sederhana.

Sayangnya esensi dari ajaran para wali ini terlupakan saat ini. Banyak orang di Indonesia mencoba mencari refleksi keagamaannya ke luar dan bukan pada dirinya sendiri. Gerakan pan Islamisme tahun 80-an agaknya banyak membuat perubahan dalam berislamnya orang Indonesia.

Faham-faham yang serba keras, pure berwajah syariah tanpa percikan kebijakan membuat Islam difahami dengan perspektif yang amat berbeda pada generasi – generasi muda Islam Indonesia yang ada saat ini.

Gerakan – gerakan Islam yang banyak merupakan turunan dari organisasi Islam dari mesir atau saudi Arabia, membuat banyak orang terasing dari sejarah keberagamaannya sendiri. Aliran garis keras ini pun direaksi dengan gerakan keIslaman yang liberal yang mencoba memasukkan Islam mempunyai logika berfikirnya sendiri yang transenden, dalam frame ilmiah barat yang sifatnya materialistik.

Saya tidak menemukan wajah Islam yang diyakini oleh nurani saya pada dua sisi ekstrim tersebut. Namun saya menemukan ketersambungan akar keyakinan saya tentang bagaimana seharusnya “beragama Islam” dalam ajaran para wali .

Sekarang, disaat Islam didentikan dengan terorisme dan kekerasan, Indonesia sering ditoleh oleh barat sebagai anti thesa bahwa Islam adalah wujud dari kedamaian dan toleransi. Menurut saya sudah saatnya untuk menggali dan mencoba menemukan inti dari warisan ajaran-ajaran para wali, sehingga kita bisa menemukan keunikan sejarah keberagamaan kita sendiri dan menyebarkan pada dunia, wajah Islam yang sebenarnya sebagai Rahmat sekalian alam.

3 comments:

Anonymous said...

Ya mBak Siska, memang "agama" kita sekarang ini berkembang ke arah yang semakin aneh. Organized religion yang mendahulukan bedak dan kosmetik laku keras bukan main. Sementara substansi agama yang dipahami sebagai "pelabuhan tempat perahu jiwaku berlabuh" kok makin nggak laku.

Orang-orang makin tidak mengenal dirinya sendiri, terasing dari dunia manusia yang semestinya.

Widodo (bukan Bapak)

the writer said...

Terimakasih mas, (tadinya saya mau jawab pak, tapi kok kaya memanggil nama bapak sendiri..:))
saya kira banyak saat ini orang yang mempunyai kehausan yang sama.. mencoba mencari pelabuhan jiwa dibalik segala hiruk pikuk beragama. Tapi mereka menjadi silent voices, yang tidak mampu bersuara. Saya harap makin banyak orang yang dapat mengekspresikan kerinduan yang cukup substansi itu, dan menjadi penjernih ditengah kekeruhan. Dan juga, Semoga kita bisa mencapai pelabuhan jiwa yang damai itu..

Anonymous said...

Mba siska,

saya tertarik dengan terjemahan buku sejarah wali terbitan tahun 2005,

bisa diberikan info dimana saya bisa dapatkan

terima kasih

salam,
Abah abhi